Halaman

21 April 2008

Dengan Tanda Jasa

Jakarta, 18 November 2007

Berencana hanya untuk menemui seorang yang ingin anaknya di-les olehku ternyata pada obrolan itu menyentuh cukup jauh dan menjadi perbincangan hangat. Apa yang aku obrolkan? Ya, seputar pendidikan terutama masalah guru.

Kita semua tahu guru adalah orang lain yang paling berjasa dalam hidup kita. Ia membimbing kita tata cara menjalani hidup dimulai dengan membuka pola pikir kita, agar kita menjadi manusia yang “melek”. Dia membimbing agar kita mampu menyelesaikan persoalan hidup dengan sampel soal-soal latihan maupun ujian yang ia berikan. Ia selalu memerhatikan kita dengan mengabsen pada setiap pertemuan, dan seterusnya, dan seterusnya.

Di pandangan kita guru adalah teladan, panutan, tempat bermuaranya kebaikan karena ilmu yang ia berikan. Dan itu merupakan hal yang seyogyanya ada pada mereka. Begitu banyak dari mereka yang siang malang hanya memikirkan bagaimana anak didiknya bisa menjadi manusia seutuhnya.

Ketika di sekolah ada siswa yang nakal, ia bimbing agar menjadi baik. Ketika ada murid yang tidak mampu membayar uang sekolah maka sang guru tersebut melakukan berbagai upaya agar anak tersebut bisa tetap sekolah. Dengan membantu secara langsung, mengajukan ke pihak sekolah agar siswa tersebut dibebaskan dari biaya yang memberatkannya, atau dengan mengajukan ke pemerintah yang memiliki otoritas di bidangnya, dan sebagainya dan sebagainya. Asalkan anak didiknya dapat tetap bersekolah.

Sebegitu besarnya pengorbanan guru kadang tidak ada bekasnya di para murid yang pergi ditelan waktu. Mereka seolah tak pernah peduli akan jasa guru-guru yang mulia tersebut. Celakanya, masih ada saja yang mendurhakai para guru dengan tingkah polah mereka yang buruk di lingkungannya. Sungguh mengecewakan!

Seiring berjalannya waktu pergeseran dari kemuliaan kedudukan seorang guru pun akhirnya sedikit demi sedikit terkikis oleh para oknum guru yang secara mental tidak bermental seorang guru. Kasarnya, mereka tidak layak menjadi guru.

PAHLAWAN TANPA TANDA JASA kini mulai tersingkirkan dengan adanya oknum guru yang menjadikan sekolah sebagai ladang bisnis belaka. Dengan tidak memerhatikan fungsi utama seorang guru yaitu sebagai pendidik, teladan dan orang tua kedua, mereka berusaha mengeruk uang yang jumlahnya secuil bila dibandingkan kemuliaan pengabdian seorang guru yang tulus. Padahal mereka mendapat gaji (yang memang kecil) bila dibandingkan dengan jasanya, terutama mereka mendapat kemuliaan di mata Tuhan Yang Maha Melihat.

Lalu, ada yang menyengaja menjadi guru agar menjadi PNS, agar memiliki jam kerja yang relatif lebih sedikit dan seterusnya-dan seterusnya.

Fenomena tersebut tidaklah sepenuhnya salah, karena guru jua manusia yang memiliki keluarga, keinginan dan ambisi. Yang menjadi masalah adalah ketidak-berimbangan antara perannya sebagai guru dan ambisinya itu. Bolehlah ia menjadikan muridnya sebagai tambang emas (bila memang tidak ada cara lain), tetapi jangan sampai memberatkan. Karena tidak semua orang tua murid mampu untuk membayar uang sekolah apalagi tambahan-tambahannya.

Selanjutnya, tingkatkan kualitas mengajarnya. Agar para murid tidak merasa dibodohi dengan berbagai pengeluaran yang ternyata tidak dirasakan manfaatnya. Jangan sampai pada suatu saat murid yang kita ajar mungkin seorang menjadi seorang guru, kemudian mereka menerapkan hal-hal yang kurang baik, dan ternyata anak guru jualah yang menjadi korbannya. Hal ini tentu akan terus berputar bersama dengan roda kehidupan bila kita tidak segera mengantisipasinya.

Guru adalah orang yang selalu ada ketika kita merasa butuh seorang penyejuk, ketika orang tua kita kurang perhatian karena sibuknya, maka merekalah yang ada dan terus membimbing kita agar kita menjadi manusia seutuhnya. Semoga Allah senantiasa menjaga mereka. Amin.